Foto : Prokopim / Bupati Sugiri Sancoko hadiri diskusi Stadium General mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Kiai Ageng Muhammad Besari
PONOROGO MAKNAJATIM –
Kolonialisme ternyata tak selalu datang dengan menjajah wilayah, namun bisa datang dan menguasai lewat cara berpikir, hidup, dan berbudaya.
Fenomena ini dibahas dalam Stadium General mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Kiai Ageng Muhammad Besari di Graha Watoe Dhakon, Selasa, 7 Oktober 2025.
Mengangkat tema “Agama, Sains, dan Dekolonisasi Ilmu Sosial di Asia”, dua intelektual dihadirkan sebagai narasumber, yakni Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Mochammad Nur Ichwan, dan Asisten Deputi Peningkatan Kapasitas Masyarakat Berkelanjutan Kemenko PMK, Amin Mudzakkir.
Keduanya mengupas tantangan dekolonisasi dalam konteks keilmuan dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Amin Mudzakkir menyebut bentuk kolonialisme modern tidak lagi berbasis wilayah, melainkan menyusup dalam cara berpikir masyarakat. Pemikiran Barat kerap dijadikan tolok ukur kualitas, meski tak selalu relevan dengan konteks lokal.
“Cara berpikir seperti menyebut tukang cukur murah tapi barbershop mahal, atau pesantren lebih murah dibanding boarding school, itu bagian dari warisan cara berpikir terjajah,” ujar Amin.
Amin mengingatkan bahwa Indonesia sebagai negara plural memiliki kekayaan pengetahuan lokal yang sangat besar. Ratusan suku dengan budaya dan bahasa beragam menyimpan sistem pengetahuan sendiri, dari pengobatan, ekonomi, hingga politik. Jika diintegrasikan dengan baik, warisan kolonial bisa terkikis.
“Dikolonisasi bukan berarti anti-Barat. Barat tidak semuanya kolonial. Kita perlu memilah mana yang kolonial dan mana yang bernilai universal,” tambahnya.
Namun proses dekolonisasi di negara seperti Indonesia tidaklah mudah. Nur Ikhwan menyebut upaya menolak warisan sistem kolonial masih menghadapi kendala besar, salah satunya mentalitas kolonial yang mengakar kuat.
“Dekolonisasi di negara-negara muslim seperti Indonesia jauh lebih sulit. Bahkan secara akademik, sebagian besar teori dekolonisasi maupun teori post-kolonial bertolak dari pengalaman masyarakat non-muslim,” ujarnya.
Senada, Kang Bupati Sugiri Sancoko yang hadir pada acara tersebut, menilai membongkar pola pikir lama yang telah mengakar memang bukan perkara mudah.
Namun, jika berhasil dilakukan, langkah itu akan membuka jalan baru untuk memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam proses perubahan tersebut, ia mengingatkan pentingnya memahami realitas masyarakat sebagai pijakan.
Lebih lanjut, ia berharap pemahaman terhadap konsep dekolonisasi dapat menjadi pemantik perubahan cara berpikir masyarakat serta menjadi “senjata baru” dalam berkontribusi pada kehidupan sosial.
“Ilmu jangan hanya berhenti sebagai karya tulis di menara gading. Memahami dekolonisasi harus dekat dengan realitas masyarakat,” ujar Kang Bupati. (***)


















